11 April 2008

Belajar Pengelolaan Air dari Kanada

Oleh: ARDA DINATA
PROBLEMATIKA menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup (baca: masalah air) akan terus bergema dalam masa mendatang, apalagi bila kita kaitkan dengan telah diberlakukannya otonomi daerah (Otda). Pakar lingkungan hidup dari Unpad Bandung, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, sudah memprediksikan bahwa kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya.

BOKS EBOOKS RESELLER SUKSES HIDUP ANDA:

1. Mengirim Ribuan Email Pribadi Sekali Klik
2. Cara Mudah & Praktis Nampang di Internet
3. Cara Praktis Bikin Situs Dinamis & Interaktif
4. Panduan Praktis Bikin Ebook
5. Menjadi Penulis Sukses & Kaya
6. Peta Harta Karun Bagi Penulis Sukses
7. Cara Gampang Nerbitin Buku
8. Pintar Membuat Tulisan Yang Mengandung Hikmah
9. Kiat Membuat Tulisan Yang Menarik
10. Rahasia Peluang Bisnis di Internet
===by. Arda Dinata

Permasalahan air ini tidak saja menyangkut kuantitas (jumlah) yang semakin menurun, juga menyangkut dari segi kualitas air yang ada dipermukaan. Pada daerah Jawa Barat (Jabar) saja, seperti diberitakan PR (2/03/04), potensi 70 miliar meter kubik air di Provinsi Jabar terbuang mubazir, disebabkan lemahnya manajemen air di Jabar, karena hutan dan kawasan lindung di Provinsi ini telah mengalami degradasi yang sangat fatal. Demikian disampaikan Ir. S. Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Lebih jauh disebutkan, kondisi alam Jabar sejatinya mampu memberikan potensi sumber daya air sebesar 81 miliar meter kubik pertahun. Padahal, kebutuhan masyarakat Jabar akan air mencapai 17 miliar meter kubik per tahun. Sehingga pada musim hujan, potensi air sebesar 81 meter kubik itu tidak tertahan dan tersimpan di hutan dan kawasan lindung. Sebaliknya, di musim kemarau, potensi air yang bisa dinikmati hanya tinggal 10 persen, sehingga terjadilah defisit kebutuhan air.
Sementara itu, laporan dari FAO (Badan Pangan Dunia) dalam tahun 2002, lebih dari 10 juta hektare areal-areal pertanian di Afrika, Asia, dan Amerika Latin kini dalam kondisi krisis air. Hutan dan pertanian bertanggung jawab penuh pada sekira 70% penahanan air di dalam tanah. Namun sekarang, semua itu nyaris kurang berfungsi karena keberadaan mereka sudah semakin berkurang.
FAO mengungkapkan bahwa satu-satunya kunci untuk menahan lajunya pengurangan air di dunia (termasuk di Indonesia-Pen) adalah mengadakan efesiensi pemakaian air. Baik di lahan-lahan beririgasi teknis maupun non teknis, serta memperbaiki manajemen air. Sedangkan khusus di daerah-daerah yang kondisi air tanahnya parah, FAO juga menyarankan agar mengutamakan investasi dalam hal konservasi, dan memperbaiki manajemen air serta pemakaiannya yang lebih efesien.
Untuk menghindari kerusakan lingkungan itu, maka pemerintah daerah harus betul-betul mempersiapkan diri secara matang dan profesional berkait dengan manajemen pengelolaan lingkungan air ini. Yakni semua komponen masyarakat harus memahami betul kondisi mendasar dari kondisi sumber daya alam terpenting bagi keberadaan manusia itu. Kemudian memikirkan bagaimana menerapkan strategi/manajemen pengelolaan sumber daya air tersebut, yang dapat menjamin kepentingan semua golongan dan kelangsungan hidup manusia?
Kondisi Air

Meski air termasuk sumber daya alam yang bisa diperbaharui, namun keberadaannya di lingkungan tetap terancam karena tingkat penggunaan air melebihi tingkat pembaharuannya. Sekilas, memang gagasan pemerasan air bumi tanpak mustahil. Namun, diketahui bahwa 4/5 dari permukaan bumi adalah air.

Kondisi air untuk konsumsi manusia harus selalu segar, sedangkan air asin di samudera dan lautan mencapai 97,5% dari total volume air di bumi. Sisanya, sekitar 2/3 terkonsentrasi dalam bentuk kubah-kubah es di wilayah kutub dan air tanah. Sedangkan air segar yang bisa diperbaharui dan secara potensial tersedia untuk konsumsi manusia terdapat di danau, sungai dan waduk. Jumlah air segarnya tidak lebih dari 0,007% dari jumlah total air di permukaan bumi.

Kondisi tersebut, di masa lalu mungkin dibilang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan di tahun 1950, ada 17.000 meter kubik suplai air segar untuk setiap wanita, pria dan anak-anak. Namun, karena tingkat pertumbuhan populasi, menjelang tahun 1995 jumlahnya telah berkurang hingga tinggal 7.500 meter kubik air. Jika ini terus berlanjut, maka di tahun 2005 hanya akan tersedia 5.100 meter kubik air bagi tiap orang per tahun. Secara demikian, akan timbul masalah kekurangan air yang serius di banyak bagian dunia.

Indonesia sendiri, saat ini jumlah penduduknya tidak kurang dari 203 juta orang lebih. Dengan kondisi seperti ini, maka pantas saja bila di Pulau Jawa telah mengalami krisis air. Saat ini ketersediaan air di Pulau Jawa saja tinggal 1.750 meter kubik perkapita pertahun. Padahal, standar kecukupan air mencapai 2.000 meter kubik. Artinya, kita benar-benar telah mengalami krisis air.

Sementara itu, sepertiga penduduk dunia pun mengalami masalah serius dalam mendapatkan air segar yang berkualitas baik, sedangkan 2/3 penduduk lainnya masih memiliki persediaan air yang memadai. Proporsi ini akan terbalik di tahun 2025. Pada tahun tersebut, jumlah air segar yang layak untuk dikonsumsi yang bisa didapatkan melalui teknologi yang ada, serta dengan biaya yang terjangkau hanya akan berjumlah 1/3 dari jumlah yang dikonsumsi di tahun 1950 (Ervin Laszlo; 1999).

Kondisi tersebut, menurut badan-badan dunia berkait dengan masalah lingkungan, seperti Badan Kesehatan Sedunia (WHO), Badan Meteorologi Dunia (WMO), Program Lingkungan PBB dan UNESCO, memprediksikan bahwa pada pertengahan dekade mendatang akan timbul masalah serius dalam hal pengadaan air lokal maupun regional. Pada tingkat dunia, menjelang tahun 2030, kurva suplai yang turun akan saling berpotongan dengan kurva permintaan menaik.

Dalam konteks kedaerahan, maka pemerintah daerah harus benar-benar komitmen dan serius dalam hal manajemen pengelolaan air di wilayah kerjanya. Walaupun kita sadar dalam pengelolaan air ini tidak bisa berdiri sendiri dengan daerah lainnya. Tapi, atas alasan telah diterapkannya otonomi daerah, maka setiap daerah memiliki porsi yang besar dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Sehingga masalah ini menjadi sesuatu keniscayaan yang patut ditafakuri oleh kita untuk mencari solusi terbaiknya.

Jika hal itu tidak dilakukan secara bijaksana, tentu akan menciptakan kondisi tidak layak untuk hidup bagi 2/3 populasi manusia. Selain tentunya, tanpa diragukan akan menciptakan konflik-konflik sosial dan politik, migrasi massal, penyakit menular, penurunan kesehatan dan kebersihan lingkungan secara besar-besaran.

Belajar dari Kanada

Kalau kita kaji dan teliti secara seksama, krisis air itu terjadi disebabkan selain pertambahan jumlah penduduk, juga oleh adanya degradasi lingkungan akibat pembabatan hutan yang dilakukan di daerah aliran sungai (DAS). Dapat dipastikan, akibatnya kawasan ini kehilangan kemampuan daya simpan air di musim kemarau. Adanya pembabatan hutan itu menyebabkan 58 DAS pada tahun 1999 kondisinya kritis.

Salah satu implikasi terjadinya perubahan lingkungan ini, dijelaskan Homer-Dixon, dkk. (1993), dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dalam tiga cara. (1) Kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Dikatakan bahwa manusia hidup lebih banyak mengorbankan sumberdaya alam daripada untuk kepentingan sumberdaya tersebut.

(2) Penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah dan air yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian tanah dan air per orang semakin berkurang.

(3) Akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang terkonsentrasi kepada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain.

Dalam mengantisipasi krisis air ini, tidak ada salahnya kita belajar dari prinsip keberlanjutan Canadian Water Resource Association untuk manajemen pengelolaan air di Kanada (Mitchell dan Shrubsole, 1994:5), yaitu: Pertama, menerapkan pengelolaan terpadu sumber daya air dengan mengaitkan kualitas, kuantitas dan pengelolaan air dari sumber lain; mengenali sistem hidrologi, ekologi, sosial dan institusi; mengenali pentingnya batas-batas akuifer dan daerah tangkapan air.

Kedua, mendorong pelestarian air dan perlindungan kualitas air dengan mengenali nilai dan batas sumber daya air, dan biaya untuk menyediakan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai; menyampaikan nilai konsumtif dan non-konsumtif dari air pada manusia dan spesies lain; menyeimbangkan pendidikan, tekanan pasar dan sistem aturan untuk menyadarkan pihak yang mendapat keuntungan agar bertanggung jawab membayar pemakaian sumbernya.

Ketiga, mengatasi isu-isu pengelolaan air dengan melakukan perencanaan, monitoring dan penelitian; menyediakan informasi multi disiplin untuk pengambilan keputusan; mendorong diadakannya konsultasi aktif dan partisipasi seluruh anggota masyarakat; memakai negoisasi dan mediasi untuk mendapatkan kesepakatan; melakukan komunikasi terbuka, pendidikan dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi.

Adanya pemahaman atas kondisi sumber daya air dan melakukan pendekatan seperti di atas, maka diharapkan dapat melakukan penyelematan terhadap kondisi air sedini mungkin. Selain itu, kita juga dalam mengatasi krisis air ini, menganggap perlunya memadukan dan menyerasikan tata guna air, tata guna lahan dan tata guna sumber daya lain dalam satu kesatuan lingkungan yang harmonis. Untuk mewujudkannya, tentu perlu ditunjang dengan pengelolaan lingkungan sosial, ekonomi, budaya yang serasi, melalui pendekatan wilayah dan tata ruang. Selain itu perlu ada jaminan penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan manusia sesuai syarat kesehatan.

Akhirnya, patut kita renungkan bahwa tingkat kemampuan bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumber daya alam tidak ditentukan oleh berapa banyak manusia yang mempergunakan sumber tersebut, melainkan ditentukan jumlah sumber daya alam yang dikonsumsi setiap orang. Jadi, kita harus mengedepankan manajemen pengelolaan air ini, demi kelangsungan generasi berikutnya.***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Waspadai Penyakit Menular Melalui Air

Oleh: ARDA DINATA
AIR bersih merupakan salah satu sumber kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia. Konsekuensinya, bila air yang kita konsumsi telah tercemar maka kehidupan manusia akan terganggu. Kondisi demikian akan menjadi ancaman kesehatan manusia, bila tidak segera dipulihkan. Apalagi saat ini kondisi lingkungan kita telah memasuki musim hujan, yang biasanya mudah sekali terjadi pencemaran air di sana-sini, seperti banjir.

Lebih jauh, air yang telah tercemar, baik oleh senyawa organik maupun anorganik akan menjadi media yang cocok untuk berkembangbiak berbagai penyakit. Air yang tercemar dapat berupa air yang tergenang dan air yang mengalir. Menurut Wisnu Arya Wardana (1999), penyakit menular akibat pencemaran air itu dapat terjadi karena berbagai macam sebab. Pertama, air merupakan tempat berkembangbiaknya mikroorganisme, termasuk mikroba patogen. Kedua, air yang telah tercemar tidak dapat digunakan sebagai air pembersih, sedangkan air bersih sudah tidak mencukupi sehingga kebersihan manusia dan lingkungannya tidak terjamin, yang pada akhirnya menyebabkan manusia mudah terserang penyakit.

Berikut ini beberapa macam penyakit menular melalui air.

1. Kolera.

Penyakit kolera adalah penyakit menular yang menyerang usus halus. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian dalam waktu singkat. Keberadaannya akan menjadi wabah apabila tidak segera ditangani secara serius. Buktinya, sebelum ditemukannya antibiotik, angka kematian akibat kolera mencapai 50 persen.

Masa inkubasi penyakit kolera sangat cepat. Dari hanya beberapa jam sampai beberapa hari setelah penderita terinfeksi oleh bakteri kolera. Penderita kolera ditandai dengan muntah-muntah dan berak terus menerus (muntaber) yang menyebabkan dehidrasi parah, sehingga penderita menjadi kolaps dan akhirnya meninggal.

Walaupun telah ditemukan vaksinasi untuk pencegahan penyakit kolera dan antibiotik untuk penyembuhannya, namun penyakit ini masih sering menjadi wabah di beberapa daerah. Hal ini disebabkan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya arti kebersihan lingkungan, vaksinasi, dan kebutuhan gizi yang baik. Penularan penyakit kolera ini, bisa terjadi secara langsung melalui orang ke orang, dapat pula melalui lalat, air, makanan, dan minuman.

2. Disenteri Amoeba.

Penyakit disenteri amoeba merupakan jenis penyakit menular yang menyerang perut. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Penyebab penyakit ini bukan karena bakteri maupun virus, namun disebabkan oleh protozoa yang dapat membentuk kista. Mikroba patogen jenis protozoa ini disebut Entamoeba histolitica.

Orang yang terkena disenteri amoeba memprlihatkan gejala berupa buang air besar yang disertai dengan lendir dan darah. Penderita penyakit ini tidak mengalami dehidrasi, kecuali pada disentri basilaris. Walau demikian, ada kalanya penyakit disentri amoeba ini tidak disertai dengan gejala yang nyata sehingga seringkali menjadi kronis. Bila penderita penyakit ini tidak segera diobati, maka akan menyebabkan komplikasi, antara lain terjadi abses pada hati, radang otak, dll.

Penyebaran penyakit ini, sangat mudah. Dapat melalui jalur air (seperti pada saat banjir), makanan dan minuman yang telah terkontaminasi/terkotori oleh kotoran yang berisi kista amoeba yang dibawa lalat. Bahayanya, keberadaan amoeba ini dapat bertahan lama di luar tubuh manusia. Sebab terbentuknya kista tersebut dapat melindungi dirinya (baca: memiliki daya tahan kuat sekali).

3. Tiphus Abdominalis.

Penyakit tiphus merupakan penyakit menular yang menyerang usus halus seperti halnya kolera. Namun, angka kematian akibat penyakit ini masih lebih rendah dari angka kematian akibat kolera. Upaya pemberantasan penyakit tiphus ini, seringkali dihadapkan pada persoalan adanya pembawa penyakit (baca: carier) bakteri tiphus. Bakteri ini untuk sementara waktu bersembunyi pada batu ginjal, kandung kemih atau pada kandung empedu.

Proses penyebarannya ialah, bisa melalui bau pada waktu buang air besar atau buang air kecil, bakteri tersebut mungkin akan ikut keluar dan menyebar ke lingkungan. Sehingga patut kita ingat, bahwa keberadaan bakteri tiphus ini dapat bertahan lama di luar tubuh manusia karena daya tahan bakteri ini sangat kuat. Pencegahannya, lakukanlah vaksinasi manakala terjadi wabah.

4. Penyakit Cacingan (Ascariasis).

Ascariasis ini dapat terjadi karena keadaan sanitasi lingkungan yang kotor dan tercemar. Penyakit cacingan ini menyerang tidak mengenal usia. Mulai anak-anak, orang dewasa, dan orang tua memiliki peluang yang sama terserang penyakit ini. Namun, kasus terjadinya penyakit cacingan ini lebih sering diderita anak-anak. Sebab mereka lebih sering bermain dengan tanah dan sulit menjaga kebersihan dirinya.

Penyakit cacingan mudah sekali menular. Sebab sekira 200.000 butir telur yang dikeluarkan oleh cacing betinanya itu akan ikut keluar dari usus pengindap penyakit cacingan bersama tinjanya.

Manusia yang terinfeksi cacing ini disebabkan tertular telur cacing yang terdapat pada minuman atau makanan, sayuran, dan buah-buahan yang telah terkontaminasi telur cacing ascaris. Selanjutnya, telur yang sampai di usus akan menetas dan menjadi larva yang akan menembus dinding perut dan masuk ke pembuluh darah. Melalui pembuluh darah ini, larva akan menuju ke hati. Kemudian ke dinding jantung kanan terus ke paru-paru. Dari paru-paru, larva cacing masuk ke saluran pernafasan terus ke tenggorokan. Dan akhirnya kembali ke rongga perut (usus) sampai menjadi dewasa serta berkembangbiak.

Gejala penyakit cacing ditandai dengan batuk ringan (karena masuknya larva ke dalam sistem pernafasan), berak (disebabkan adanya cacing dewasa), dan biasanya kondisi tubuhnya menurun (karena makanan yang berada di usus ikut dimakan oleh cacing).

5. Trachoma.

Penyakit ini timbul terutama karena kurangnya persediaan air bersih, seperti yang sering terjadi dan menyerang masyarakat pada daerah banjir. Penyakit trachoma ialah penyakit mata yang menyerang selaput lendir dan selaput bening mata.

Penyakit trachoma ini disebabkan oleh virus trachoma. Pada awalnya penyakit ini, hampir tidak menimbulkan keluhan pada penderitanya. Namun, pada keadaan yang terus berlanjut, akan mengakibatkan peradagangan pada mata. Langkah pengobatan terhadap penyakit ini segera dilakukan, sebab bila terlambat diobati mungkin akan mengakibatkan cacat, bahkan bisa berlanjut mengakibatkan kebutaan.

Penyakit tersebut mudah sekali menyerang anak-anak yang stamina/gizinya buruk, terutama kekurangan vitamin A dan minim menjaga kebersihan dirinya. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain melalui tangan, pakaian atau sapu tangan. Penularan penyakit mata ini akan lebih mudah lagi terjadi, bila kekurangan air bersih akibat air lingkungan yang telah tercemar, terutama di daerah banjir dan daerah kumuh.

6. Scabies.

Penyakit scabies atau kudis merupakan penyakit kulit yang mudah menular melalui kontak langsung atau melalui pakaian, sapu tangan, atau tempat tidur yang digunakan penderita scabies.

Penyakit kudis ini disebabkan oleh kekurangan air bersih. Penyakit ini disebabkan oleh sarcoptes scabei, sejenis kutu kecil/tungau. Kutu ini masuk ke dalam kulit dan memakan jaringan kulit yang kemudian “meninggalkan” telur-telurnya di dalam kulit.
Pencegahannya yaitu dengan membiasakan membersihkan diri (mandi) secara bersih. Menggunakan air yang bersih merupakan cara terbaik untuk menghindari terkena penyakit scabies. Begitu juga dengan pakaian, hendaknya orang membiaskan diri untuk menggunakan pakaian yang bersih.

7. Polliomyelitis.

Penyakit ini, lebih dikenal dengan penyakit polio. Sering kali penyakit ini menyerang anak-anak dan menyebabkan kelumpuhan. Gejalanya sangat bervariasi, dapat berupa demam ringan seperti influenza sampai pada kelumpuhan ringan dan berat yang menyebabkan cacat pada tungkai bawah.

Kebersihan lingkungan dan keadaan gizi baik sangat membantu dalam menangkal penyakit polio, terutama pada anak-anak. Vaksinasi polio sudah barang tentu sangat berguna untuk membantu ketahanan tubuh terhadap penyakit polio ini.

8. Hepatitis A.
Penyakit ini dapat menular secara langsung dari orang ke orang, juga bisa melalui air yang telah tercemar atau melalui makanan yang telah terkontaminasi oleh virus hepatitis. Hebatnya virus ini, walaupun pengolahan air minum sudah melalui proses chlorinasi (baca: proses pembunuhan kuman), air minum sudah terbebaskan dari bakteri, namun ternyata tetap ada virus hepatitis A di dalam air minum tersebut.

Penyakit hepatitis A ini ditandai oleh demam yang disertai rasa mual dan muntah. Hati penderita menjadi bengkak, bola mata pun menjadi kuning. Warna kuning ini menjalar ke permukaan kulit. Orang awam menyebutnya dengan penyakit kuning.

Hepatitis A yang telah parah akan merusak hati, akibatnya menyebabkan melemahnya tubuh penderita. Tubuh menjadi kurus dan perut membesar. Dengan rusaknya hati, maka aliran dari venaporta tersumbat dan cairan tubuh terkumpul di rongga perut sehingga terjadilah pembengkakan.

Akhirnya, dengan mengetahui beberapa penyakit yang berhubungan dengan kebersihan air tersebut, kita diharapkan untuk dapat menjaga kondisi air bersih yang sehari-hari kita konsumsi dan gunakan. Apakah benar-benar telah terbebas dari virus, bakteri dan protozoa yang dapat menyebabkan penyakit menular yang bersumber dari air? Lebih-lebih saat ini, kondisi lingkungan yang banyak hujan dan menyebabkan banjir di beberapa tempat. Tentu hal ini sangat berpotensi mewabahnya penyakit tersebut. Semoga tidak terjadi. ***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Selamatkan dan Lindungi Sumber Air!

Oleh: ARDA DINATA
SETIAP orang butuh air untuk keperluan minum, mandi, cuci, dan lainnya. Aktivitas penggunaan air tiap hari, kadang-kadang membuat kita lupa untuk menjaga kelestariannya. Baru terasa pentingnya melestarikan air, biasanya saat memasuki musim kemarau, banyak masyarakat seperti di daerah cekungan Bandung menjerit karena tidak kebagian air. Sumber airnya (sumur dan pompa tangan) yang biasanya penuh air, kini kering. Mengapa?
Dalam pantauan yang dilakukan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan (TLGKP), terjadinya krisis air disebabkan karena setiap tahun rata-rata terjadi penurunan permukaan air tanah sebesar 1-15 m, sehingga untuk daerah Cimahi, Cijerah, Cibereum, Sayati, Rancaekek merupakan kawasan yang sudah krisis air. “Sejak tahun 1978 hingga 2000 total penurunan air tanah di Kota Bandung mencapai 50–80 meter. Di Cimahi Selatan yang menjadi kawasan industri, penurunan permukaan air tanah mencapai 100 meter,” ungkap Direktur TLGKP Yousana Siagian.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan air tanah di Bandung tersebut, adalah akibat pengelolaan sumur bor yang belum dikelola dengan baik. Buktinya, jumlah pengambilan air tanah secara keseluruhan untuk industri, komersil dan PDAM Kota maupun Kabupaten Bandung cukup banyak. Pada tahun 2000 saja mencapai 46,6 juta meterkubik per tahun yang diambil melalui 2.484 sumur bor. Jadi, melihat data ini sangat pantas bila Bandung terjadi penurunan permukaan air tanahnya.
Penyebab lainnya adalah akibat keberadaan ruang terbuka hijau (hutan dan taman) yang semakin menyempit. Menurut H.Unus Suriawiria, Guru Besar Bioteknologi ITB, pada saat jumlah penduduk Kota Bandung belum sepadat sekarang, maka kehijauan dan kerimbunan pohon sepanjang tahun akan menyelimuti bukit-bukit yang mengelilinginya. Kawasan yang asri dan menarik itu pada hakekatnya merupakan daerah penyerap air (water catchnent area) abadi, sehingga air hujan yang memasuki tanah dibawahnya akan menjadi gudang dan tabungan sumber air pada musim kemarau, serta penangkal dan penghambat banjir dan tanah longsor di musim hujan. Sehingga sepanjang tahun udara Bandung tetap nyaman dan asri, daerah Bandung terbebas dari kekurangan air dan bencana banjir ataupun tanah longsor.
Tetapi berbeda dengan bentuk dan sifat lahan di dataran tinggi Bandung sekarang, dengan jumlah penduduk yang sudah heurin ku tangtung (banyak dan berjubel), disertai dengan perubahan lahan pertanian, hutan, dan tegalan menjadi tempat pemukiman baru, daerah industri baru serta kegiatan lainnya, ikut berubah pula daerah kehijauan yang rimbun oleh perdu dan pohon. Sehingga kalau air hujan turun, tidak bebas lagi untuk meresap ke dalam tanah, tetapi justru mencari jalan lain dalam bentuk aliran air di permukaan jalan.
Bila kondisi seperti itu tidak kita rubah melalui perilaku dalam memperlakukan alam sebagai tempat tinggal air, maka siap-siap kita makin menderita akibat tiadanya air yang bisa kita gunakan sehari-hari. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di sini, sudah waktunya Pemda Kota/Kabupaten Bandung melarang adanya sumur-sumur pengambilan air tanah baru. Sementara untuk sumur-sumur yang sudah ada, dilakukan pengurangan debit secara bertahap. Seiring dengan tindakan itu, pengendalian dan pengawasan ketat pengambilan air tanah terus dilakukan secara intensif guna pemulihan kondisi air tanah.
Lebih dari itu, dalam penanganan krisis air ini kita tidak terlepas pada usaha untuk melindungi sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Berikut ini usaha yang bisa dilakukan untuk melindungi sumber-sumber air tersebut, yaitu:
1. Mata Air:
  • Melindungi mata air dengan bangunan pagar sehingga tidak menjadi tempat buangan sampah atau limbah.
  • Tidak menebang pohon-pohon yang karena akarnya menjadi pusat mata air. Bahkan di sekitarnya harus ditanami pohon-pohon tambahan. Rimbunnya daun akan mengurangi penguapan air dan melalui akar, air akan meresap ke dalam tanah.
  • Tidak mencuci atau mandi, apalagi buang kotoran langsung di mata air.
  • Memberi pengaman di sekitarnya dari kemungkinan longsor.

2. Air Permukaan:

  • Tidak membuang sampah dan air limbah ke sungai atau danau.
  • Mempertahankan debit air sungai dan danau dengan cara mencegah pengendapan dan pendangkalan, misalnya membangun bantaran.
  • Tidak mendirikan bangunan di tepi sungai atau danau, palagi di atasnya.
  • Tidak membuat WC umum di sungai atau membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai.

3. Air Tanah:

  • Membuat sumur resapan di halaman rumah, kantor, sekolah atau perusahaan.
  • Menyisakan lahan terbuka untuk resapan air, tidak menghabiskan semua lahan untuk bangunan.
  • Memilih paving block untuk jalan dan halaman, bukan semen atau aspal agar air hujan meresap dengan cepat.
  • Tidak sembarangan mengambil air dalam tanah (artesis) karena dalam jangka panjang menyebabkan intrusi air laut.
  • Menjaga jarak antara sumur dengan sumur resapan atau septic tank untuk mencegah perembesan air kotor ke sumur (+ 15 m).

Anda peduli, mari bersama-sama kita selamatkan sumber air di lingkungan tempat tinggal masing-masing!***

Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Upaya Menghilangkan Kesadahan Air

Oleh: ARDA DINATA
AIR memiliki peranan penting dalam kehidupan makhluk hidup. Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang sangat memerlukan keberadaan air bersih. Kondisi air bersih ini, tentu harus memenuhi syarat baik dari segi kualitas (fisik, kimia, dan bakteriologis), kuantitas, dan kontinuitasnya.

Kondisi air itu, pada dasarnya sangat tergantung pada kondisi lapisan tanahnya. Dalam beberapa kasus, ada daerah yang mempunyai lapisan batu gamping, dan umumnya kualitas air tanahnya cukup baik. Tetapi, kandungan unsur mineralnya dan senyawa tertentu seperti Kalsium dan Magnesium cukup tinggi. Kandungan seperti itulah yang menyebabkan air disebut air sadah atau air keras.

Umumnya, kesadahan air ini disebabkan oleh adanya metal-metal atau kation-kation yang memiliki valensi 2, seperti Besi, Mangan, Kalsium, Magnesium, dan lainnya. Tapi, penyebab utama dari kesadahan itu ialah Kalsium dan Magnesium.

Pada masyarakat, kondisi kesadahan air ini umumnya diberbagai tempat berbeda-beda. Air permukaan lebih lembut daripada air tanah. Tepatnya, kesadahan dalam air itu menunjukkan bahwa telah terjadi kontak antara formasi geologi dengan sumber air/badan air tersebut.

Bila kita tinjau dari segi kesehatan, sebenarnya keberadaan air sadah ini tidak membahayakan. Namun, bila kita tinjau dari segi teknis dan ekonomis, ternyata air sadah akan menimbulkan beberapa kerugian. Pertama, air sadah akan memboroskan penggunaan sabun cuci. Hal ini karena ion Kalsium dan Magnesium akan bereaksi dengan sabun membentuk endapan. Dan akhirnya akan menyebabkan tidak timbul busa.
Kedua, air sadah dapat menimbulkan kerak-kerak pada ketel (alat masak air). Sehingga bila pada ketel ada kerak, maka tidak terjadi transfer panas. Akibatnya untuk mendidihkan air diperlukan pemanasan yang lebih tinggi. Hal ini tentu berbahaya karena dapat menyebabkan meledaknya ketel.
Ketiga, air sadah dapat menimbulkan endapan-endapan pada saluran pipa transmisi. Sehingga lama kelamaan dapat mempersempit diameter pipa dan ujung-ujungnya akan terjadi penyumbatan aliran air.
Memperbaiki Kesadahan Air
Secara teoritis, umumnya kesadahan air ini dibedakan atas tiga jenis. Yaitu kesadahan Kalsium dan Magnesium; kesadahan Karbonat dan Non Karbonat; serta kesadahan Pseudeo. Yang terakhir ini (Pseudeo) merupakan kesadahan yang terbentuk apabila konsentrasi Natrium dalam air tinggi. Misalnya, pada air laut, air payau, dan sumber-sumber air yang banyak mengandung Natrium.
Berikut ini merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas air yang mempunyai kesadahan tinggi, yaitu dengan pemanasan, proses penambahan kapur, proses penambahan kapur-soda, dan dengan ion exchanger.
Untuk air yang mengandung kesadahan Non Karbonat (tetap). Yaitu bentuk kesadahan yang disebabkan oleh Kalsium dan Magnesium atau Sulfat dan Klorida. Maka kesadahan model ini tidak dapat diturunkan dengan proses pemanasan. Tapi, kesadahan ini dapat dihilangkan dengan penambahan kapur dan soda. Dan medota ini dikenal dengan proses kapur-soda atau proses pelunakan dengan metoda pengendapan. Di mana Kalsium dan Magnesium sebagai penyebab utama kesadahan diendapkan menjadi garam-garam yang tidak larut (berkelarutan rendah). Kalsium diendapkan dalam bentuk Kalsium Karbonat, sedangkan Magnesium dalam bentuk Magnesium Hidroksida.
Selain itu, ada metoda pengendapan lain yang bisa kita lakukan, yaitu berupa metoda pengendapan kristalisasi. Metoda kristalisasi merupakan bentuk pelunakan dengan pengendapan khusus. Dalam metode ini, endapan yang terjadi tidak berbentuk flok, tetapi dalam bentuk kristal (Rahim Siahaan; 2000).
Pada metode kristalisasi ini, pembentukan kristal disitimulasikan oleh material yang disebut sebagai inti kristalisasi. Material yang bisa digunakan sebagai inti kristalisasi ini, selain butir-butiran Kalsium Karbonat, pasir atau broken marble dapat juga digunakan sebagai penggantinya.***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA: