Oleh: ARDA DINATA
Email: arda.dinata@gmail.com
SETIAP orang butuh air untuk keperluan minum, mandi, cuci, dan lainnya. Aktivitas penggunaan air tiap hari, kadang-kadang membuat kita lupa untuk menjaga kelestariannya. Baru terasa pentingnya melestarikan air, biasanya saat memasuki musim kemarau, banyak masyarakat seperti di daerah cekungan Bandung menjerit karena tidak kebagian air. Sumber airnya (sumur dan pompa tangan) yang biasanya penuh air, kini kering. Mengapa?
Dalam pantauan yang dilakukan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan (TLGKP), terjadinya krisis air disebabkan karena setiap tahun rata-rata terjadi penurunan permukaan air tanah sebesar 1-15 m, sehingga untuk daerah Cimahi, Cijerah, Cibereum, Sayati, Rancaekek merupakan kawasan yang sudah krisis air. “Sejak tahun 1978 hingga 2000 total penurunan air tanah di Kota Bandung mencapai 50–80 meter. Di Cimahi Selatan yang menjadi kawasan industri, penurunan permukaan air tanah mencapai 100 meter,” ungkap Direktur TLGKP Yousana Siagian.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan air tanah di Bandung tersebut, adalah akibat pengelolaan sumur bor yang belum dikelola dengan baik. Buktinya, jumlah pengambilan air tanah secara keseluruhan untuk industri, komersil dan PDAM Kota maupun Kabupaten Bandung cukup banyak. Pada tahun 2000 saja mencapai 46,6 juta meterkubik per tahun yang diambil melalui 2.484 sumur bor. Jadi, melihat data ini sangat pantas bila Bandung terjadi penurunan permukaan air tanahnya.
Penyebab lainnya adalah akibat keberadaan ruang terbuka hijau (hutan dan taman) yang semakin menyempit. Menurut H.Unus Suriawiria, Guru Besar Bioteknologi ITB, pada saat jumlah penduduk Kota Bandung belum sepadat sekarang, maka kehijauan dan kerimbunan pohon sepanjang tahun akan menyelimuti bukit-bukit yang mengelilinginya. Kawasan yang asri dan menarik itu pada hakekatnya merupakan daerah penyerap air (water catchnent area) abadi, sehingga air hujan yang memasuki tanah dibawahnya akan menjadi gudang dan tabungan sumber air pada musim kemarau, serta penangkal dan penghambat banjir dan tanah longsor di musim hujan. Sehingga sepanjang tahun udara Bandung tetap nyaman dan asri, daerah Bandung terbebas dari kekurangan air dan bencana banjir ataupun tanah longsor.
Tetapi berbeda dengan bentuk dan sifat lahan di dataran tinggi Bandung sekarang, dengan jumlah penduduk yang sudah heurin ku tangtung (banyak dan berjubel), disertai dengan perubahan lahan pertanian, hutan, dan tegalan menjadi tempat pemukiman baru, daerah industri baru serta kegiatan lainnya, ikut berubah pula daerah kehijauan yang rimbun oleh perdu dan pohon. Sehingga kalau air hujan turun, tidak bebas lagi untuk meresap ke dalam tanah, tetapi justru mencari jalan lain dalam bentuk aliran air di permukaan jalan.
Bila kondisi seperti itu tidak kita rubah melalui perilaku dalam memperlakukan alam sebagai tempat tinggal air, maka siap-siap kita makin menderita akibat tiadanya air yang bisa kita gunakan sehari-hari. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di sini, sudah waktunya Pemda Kota/Kabupaten Bandung melarang adanya sumur-sumur pengambilan air tanah baru. Sementara untuk sumur-sumur yang sudah ada, dilakukan pengurangan debit secara bertahap. Seiring dengan tindakan itu, pengendalian dan pengawasan ketat pengambilan air tanah terus dilakukan secara intensif guna pemulihan kondisi air tanah.
Lebih dari itu, dalam penanganan krisis air ini kita tidak terlepas pada usaha untuk melindungi sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Berikut ini usaha yang bisa dilakukan untuk melindungi sumber-sumber air tersebut, yaitu:
1. Mata Air:
- Melindungi mata air dengan bangunan pagar sehingga tidak menjadi tempat buangan sampah atau limbah.
- Tidak menebang pohon-pohon yang karena akarnya menjadi pusat mata air. Bahkan di sekitarnya harus ditanami pohon-pohon tambahan. Rimbunnya daun akan mengurangi penguapan air dan melalui akar, air akan meresap ke dalam tanah.
- Tidak mencuci atau mandi, apalagi buang kotoran langsung di mata air.
- Memberi pengaman di sekitarnya dari kemungkinan longsor.
2. Air Permukaan:
- Tidak membuang sampah dan air limbah ke sungai atau danau.
- Mempertahankan debit air sungai dan danau dengan cara mencegah pengendapan dan pendangkalan, misalnya membangun bantaran.
- Tidak mendirikan bangunan di tepi sungai atau danau, palagi di atasnya.
- Tidak membuat WC umum di sungai atau membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai.
3. Air Tanah:
- Membuat sumur resapan di halaman rumah, kantor, sekolah atau perusahaan.
- Menyisakan lahan terbuka untuk resapan air, tidak menghabiskan semua lahan untuk bangunan.
- Memilih paving block untuk jalan dan halaman, bukan semen atau aspal agar air hujan meresap dengan cepat.
- Tidak sembarangan mengambil air dalam tanah (artesis) karena dalam jangka panjang menyebabkan intrusi air laut.
- Menjaga jarak antara sumur dengan sumur resapan atau septic tank untuk mencegah perembesan air kotor ke sumur (+ 15 m).
Anda peduli, mari bersama-sama kita selamatkan sumber air di lingkungan tempat tinggal masing-masing!***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar